CERPEN 

Mata Indah yang Menipu

Zaenal Radar T., penulis produktif yang juga aktif bergiat di beberapa komunitas Seni, Sastra dan Film. menulis cerpen, novel dan skenario televisi. Cerpen-cerpennya termuat disejumlah media diantaranya; majalah sastra Horison, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Nova, Femina dll. Buku kumpulan cerpennya; Harga Kematian (2003), Airmata Laki laki (2004). Blog: http:/toekangketik.blogspot.com. FB/G+: Zaenal Radar.

 

Bila ditatap sekilas penjaga masjid itu memang seperti laki-laki. Ia selalu bergamis panjang dengan kepala tertutup sorban hitam. Tetapi pada akhirnya mataku tak bisa tertipu. Aku mampu membedakan laki-laki dan perempuan, bagaimanapun hebatnya dia menyamarkan. Seperti halnya mengetahui dia gadis cantik bermata indah, meski berpakaian seperti laki-laki.

* * *

Ada satu kebiasaanku setiap kali selesai salat maghrib, yakni duduk-duduk di teras sambil memesan makanan pada pedagang kaki lima yang berjualan di emperan halaman masjid. Aku sengaja duduk berlama-lama, menunggu lalulintas yang sangat padat agak berkurang karena jam karyawan pulang kantor. Sambil menunggu macet reda, sekalian menanti datangnya waktu salat isya.

Tak jarang aku duduk-duduk di teras masjid itu selepas solat isya berjamaah. Biasanya, kalau aku melanjutkan perjalanan pulang ke rumah lebih malam jalanan akan lebih longgar. Saat berada di teras itulah sering kulihat sosok sorban hitam bermata indah di masjid itu. Terkadang ia  sibuk mengepel lantai, merapihkan sandal-sandal jamaah yang tidak dititipkan ke tempat penitipan, dan sebagainya.

Pernah suatu malam, ketika aku masih belum yakin kalau penjaga masjid itu  perempuan, ia kupanggil untuk menemaniku duduk di teras. Ketika itu aku melihat ia tengah melamun di dekat pintu masuk. Tangannya memegang sapu, namun pandangan matanya menerobos jauh ke halaman.

“Assalamu’alaikum…” aku berucap salam. Ternyata dia cuma mengangguk. Lalu kujelaskan padanya, bahwa salam seorang muslim itu wajib dijawab oleh muslim lain. Aku pun mengulangi lagi salamku. Dan dia menjawab dengan teramat perlahan. Suaranya terdengar halus, seperti suara perempuan kebanyakan. Meskipun berpenampilan seperti laki-laki, ternyata ia tak mau menipu orang lain dengan suara seperti laki-laki.

Setelah itu kami pun mengobrol. Tetapi dia lebih banyak diam. Selain itu, pandangan matanya tak pernah berani menatap mataku. Namun aku tahu pasti, bila dia memiliki bola mata yang begitu indahnya. Sebab satu kali, saat kudapati matanya menatapku, aku bisa melihat dengan jelas bola matanya yang jernih dan indah.  Meskipun tidak berdandan, wajahnya nampak halus dan lembut.

Merasa tidak nyaman bicara di masjid, aku mengajak dia keluar mencari tempat untuk mengobrol. Dia menolaknya, karena takut dimarahi Haji Bantong. Haji Bantong adalah nama imam masjid di mana ia kini menjadi penjaga alias marbot. Dan dia mengaku sudah dianggap seperti anak kandungnya. Sebab menurut ceritanya malam itu, dia mengaku sudah tak lagi memiliki keluarga.

Sambil menunggu datangnya waktu solat isya, aku dengarkan dia bercerita. Kami duduk di teras masjid, tak menghiraukan jamaah lainnya yang hilir mudik keluar masuk menunaikan solat maghrib yang tertinggal. Beberapa jamaah lainnya juga masih ada yang kongkow-kongkow di dekat kami.

O ya, dia mengaku bernama Mutia. Terlahir di daerah pesisir pantai Lhoknga, Aceh Besar. Mutia datang ke kotaku karena sudah tak lagi memiliki keluarga lagi. Seluruh anggota keluarganya telah habis disapu gelombang tsunami. Mutia selamat dari musibah itu karena saat kejadian tsunami tengah tak berada di rumah.

Setelah kejadian itu, Mutia mengadu nasib ke kota. Namun ternyata kehidupan kota tak seramah yang ia duga. Mutia nyaris menjadi perempuan pemuas nafsu laki-laki hidung belang kalau saja ia tak melarikan diri. Waktu itu Mutia melamar menjadi pelayan. Seseorang menawari pekerjaan dengan iming-iming gaji tinggi. Mutia tidak tahu kalau ia harus menjadi perempuan pekerja seks komersial.

Awalnya Mutia disekap di sebuah rumah bersama dengan perempuan lain seusianya. Karena tidak kuat, Mutia melarikan diri dengan hanya membawa pakaian yang melekat pada dirinya. Tak ada uang, pakaian untuk salinan, atau barang berharga lainnya untuk menyambung hidup. Hingga akhirnya Mutia ditemukan Haji Bantong, imam masjid yang saat ini mempercayainya menjadi marbot.

Menjadi marbot pun bukan atas keinginan Haji Bantong. Tetapi karena keinginan Mutia sendiri. Haji Bantong malah menawari Mutia menunggui warung kelontongnya. Tetapi Mutia memilih bekerja di rumah Allah, mengerjakan apa yang ia bisa. Mutia mengaku merasa tentram berada di masjid. Namun bila malam tiba, ia pulang ke rumah kontrakkannya yang jaraknya beberapa meter saja dari masjid.

Itulah cerita yang kudapatkan tentang Mutia untuk yang pertama kalinya. Karena waktu solat isya sudah masuk, kami menyudahi obrolan. Selepas isya aku bermaksud kembali menemuinya. Namun aku tak berhasil menemukannya. Mutia sudah tidak ada di sekitar masjid. Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja.

Sepanjang perjalanan pulang, aku selalu memikirkannya. Aku berharap bisa bertemu dengannya lagi di lain waktu.

***

Pada hari-hari selanjutnya, aku selalu berusaha untuk bertemu dengan Mutia di masjid yang biasa kusinggahi. Tetapi aku tak pernah berhasil bicara lebih lama. Mutia nampaknya tak mau diganggu. Ia seolah menghindar bila melihatku. Hal itu membuatku tak habis pikir. Dan entah kenapa, aku ingin selalu memaksanya untuk bisa menemaniku mengobrol di teras masjid, sambil menanti waktu solat isya tiba.

Meskipun tak mau menemaniku mengobrol, aku sudah cukup puas masih bisa melihat sosoknya. Mutia kuperhatikan menyusun sandal-sandal jamaah yang tidak beraturan di pintu masuk, atau membersihkan lantainya yang kotor. Mutia sepertinya tak pernah berhenti untuk tidak melakukan aktivitasnya. Tak pernah kutemukan marbot seperti dirinya. Ia seperti sangat menikmati pekerjaanya.

Satu hal yang belum tentu diketahui jamaah lainnya adalah, mereka belum tentu bisa mengira bila marbot masjid yang rajin ini seorang perempuan. Aku malah pernah memergoki seseorang yang mengatakan, “Terima kasih, mas!” saat Mutia merapihkan sandal-sandal yang berada di pintu masuk masjid. Itu berarti, orang tersebut menduga bila Mutia seorang lelaki.

Suatu kali, saat aku sibuk memperhatikan Mutia seperti biasanya, seorang lelaki tua tiba-tiba duduk di sebelahku. Ia memakai sorban, berpeci dan jenggotnya telah memutih. Lelaki tua tersebut memperlihatkan senyumnya. Aku mengenali beliau sebagai imam masjid di masjid yang selalu kusinggahi ini. Dialah lelaki yang disebut sebagai Haji Bantong oleh Mutia.

Aku dan Haji Bantong saling mengucap salam. Setelah itu kami bercakap-cakap tentang banyak hal. Dia menanyaiku sangat detil seperti petugas sensus saja. Segala hal tentang diriku dikoreknya. Dan sampailah kami membahas tentang Mutia. Haji Bantong pun menceritakan tentang gadis yang saat ini menjadi marbot di masjidnya. Cerita yang disampaikan tidak berbeda dengan yang pernah diceritakan oleh Mutia tempo hari.

Diakhir pembicaraan, aku meminta izin pada Haji Bantong, untuk diperkenankan mengenal Mutia lebih jauh. Tetapi Haji Bantong dengan halus mencegahku berhubungan dengan Mutia. Beliau katakan kalau aku bukan lelaki yang pantas bergaul dengan perempuan seperti Mutia. Hal itu ia katakan seraya memandangi penampilanku yang disebutnya sebagai orang kantoran. Selain itu, Haji Bantong khawatir bila nantinya Mutia berharap banyak kepadaku.

Menurut Haji Bantong, tak sedikit anak muda di sekitar masjid yang menaruh harapan pada Mutia. Hanya saja belum ada yang mampu menaklukan hatinya. Haji Bantong sendiri selalu membatasi pergaulan Mutia, dan ikut andil dalam memilih lelaki mana yang dianggap pantas berhubungan serius dengan Mutia.

Dengan setengah memohon, aku meyakinkan Haji Bantong untuk memberikan kesempatan agar aku bisa lebih dekat dengan si mata indah.

“Kalau begitu, semua saya serahkan pada Mutia saja. Biar dia sendiri yang menentukannya,” ujar Haji Bantong, membuat  harapanku terbuka lebar-lebar untuk bisa mengenal Mutia lebih jauh lagi. Sejujurnya, aku memang selalu berharap bisa mengambil hati Mutia. Sejak pertama kali melihatnya, aku sudah merasa tertarik. Aku tak pernah mempedulikan siapa Mutia. Aku tak pernah menghiraukan apa pekerjaan Mutia. Aku ingin sekali menjadikan Mutia sebagai calon pendamping hidupku kelak.

Sesungguhnya bagiku mudah mendapatkan perempuan yang bisa kujadikan  istri. Di kantor tidak sedikit perempuan kelas pegawai yang sebenarnya dapat kujadikan sebagai calon istri. Begitupula teman-temaan di luar perusahaan, para relasi, atau pun perempuan yang kerap diperkenalkan oleh keluarga dan saudara-saudaraku. Aku tak pernah serius menanggapinya. Belum ada yang cocok. Sebab yang kucari adalah seorang muslimah yang tangguh, perempuan yang kuharapkan mampu menjadi pendampingku hingga akhir hayat. Aku merasa Mutia mampu menjalaninya.

Tetapi aku belum tahu apakah nantinya Mutia bersedia menerimaku. Aku belum tahu jawabannya.

***

 

Setelah solat maghrib, seperti biasa aku melepas lelah di teras masjid. Aku sudah berencana bertemu Mutia, penjaga masjid berbola mata indah itu. Sayangnya, aku tidak menemukan sosoknya sejak kakiku menginjak lantai masjid ini. Kemana Mutia? Jangan-jangan dia tak mau menemuiku, setelah Haji Bantong yang kumintai bantuan meyakinkannya untuk bertemu denganku sore ini. Aku khawatir Mutia menghindar dan tak mau lagi menemuiku.

Sampai solat isya selesai, aku masih tak menemukan keberadaan Mutia. Aku sudah menanyakan pada Haji Bantong dan orang-orang yang biasa berada di sekitar masjid. Tetapi mereka pun mengaku tidak mengetahui keberadaannya. Dengan keadaan setengah putus asa, aku duduk lunglai di sudut beranda masjid.

Aku kecewa sekali. Baru kali ini aku mendapat perlakuan dari seorang perempuan yang kuharapkan nantinya bisa menemani hari-hariku. Aku sangat terpukul. Apalagi ternyata aku harus bertekuk lutut pada perempuan yang sebelumnya tak pernah kuduga. Seorang penjaga masjid!

Ya Tuhan, kenapa aku bisa jatuh hati pada seorang penjaga masjid?? Dan kenapa pula aku masih saja tak mampu mendapatkannya…??

Saat aku tengah bersedih dan kehilangan harapan untuk  bertemu dengan penjaga masjid bermata indah itu, tiba-tiba kulihat dua perempuan berkerudung memasuki halaman masjid. Aku tidak begitu mempedulikannya, karena aku tengah memikirkan kenapa Mutia tidak mau menemuiku meski aku sudah berusaha meminta izin pada imam masjid Haji Bantong.

Di luar dugaan, salah satu perempuan berkerudung tersebut berjalan ke arahku. Saat menatap wajahnya, perlahan aku dapat mengenalinya. Tatapan matanya mampu mengembalikan ingatanku pada sosok perempuan yang tengah kutunggu-tunggu. Aku terpesona melihat penampilannya kali ini. Dan tentu saja, matanya yang indah…

Aku masih ingat benar, malam itu Mutia mengenakan gaun muslimah begitu indahnya. Penampilannya benar-benar berbeda dari hari biasa. Dan aku tak pernah menduga kalau malam itu ternyata ia sengaja ingin menyambutku dengan penampilan khusus. Semua itu atas saran Haji Bantong, yang mengharuskan dia melakukannya.

Mutia datang tidak sendirian. Mutia diantar oleh seorang gadis, putri Haji Bantong. Dan malam itu, aku mengajaknya mampir makan malam di sebuah warung tenda tak jauh dari masjid. Di sana aku dan dia bicara banyak hal. Setelah itu aku pun mengantarnya pulang.

Itulah malam terakhir aku bertemu dengan Mutia di sekitar masjid. Diwaktu berikutnya aku tak lagi menemukan si pemilik mata indah itu di masjid. Sebab ia sudah menetap di sebuah rumah sederhana, mengurus segala keperluan seseorang yang mencintainya. Mutia sudah kupersunting menjadi seorang istri!

Aku bersyukur mendapatkan seorang muslimah seperti dirinya. Tak terasa, kini kami sudah memiliki dua anak yang lucu-lucu. Ketika salah seorang putri terbesar kami bertanya, dimana ayah menemukan Bunda, aku bilang padanya, kalau Bundanya dulu bertemu denganku di sebuah tempat pengajian. Siapapun tentu tak akan percaya, termasuk anakku sendiri, bila perempuan cantik bermata indah yang saat ini menjadi istriku adalah seorang penjaga masjid!

Kuharap kalian memercayainya!***

*)Tangerang Selatan, 2010-2016

 

Related posts

Leave a Comment

sixteen − four =